Kasus Bullying Di Sekolah Bagaimana Islam Memandangnya Dan Solusi Pencegahannya

Kasus Bullying Di Sekolah Bagaimana  Islam Memandangnya Dan Solusi Pencegahannya

Kasus bullying di sekolah mulai dari siswa yang jarinya harus diamputasi, siswa yang ditendang sampai meninggal, kisah anak SMPN 147 Cibubur yang lompat dari lantai atas sekolahnya menjadi gambaran ekstrem dan fatal dari intimidasi bullying fisik dan psikis yang dilakukan pelajar kepada teman-temannya pada Februari 2020.
Fenomena kekerasan ini adalah fenomena saat anak yang terbiasa menyaksikan cara kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Artinya mereka tidak pernah diajarkan cara menyelesaikan masalah dengan baik, bahkan memandang kekerasan sebagai cara penyelesaian.
Di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam melihat anak-anak yang melakukan kejahatan, dalam hukum bisa dikatan bukan sebagai subyek hukum, melainkan pasti ada penyebab penyertanya.
Selain itu pasal 9 Undang Undamg nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak dalam ayat (1a) menyatakan setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.
KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Untuk Bullying baik di pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan trennya terus meningkat.
Maka hal ini tidak cukup bagi sekolah hanya memiliki satu guru konseling, dengan kondisi gangguan di luar sekolah yang masif menghantui anak anak Indonesia. Ke depannya, seharusnya guru konseling bukan profesi sampingan, apalagi dibebankan juga dengan mengajar.
Aksi Bullying merupakan suatu kejadian yang seringkali tidak terhindarkan terutama di sekolah. Bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok, suatu perilaku mengancam, menindas dan membuat perasaan orang lain tidak nyaman. 
Seseorang yang bisa dikatakan menjadi korban apabila dia diperlakukan negatif (secara sengaja membuat luka atau ketidak nyamanan melalui kontak fisik, melalui perkataan atau dengan cara lain) dengan jangka waktu sekali atau berkali-kali bahkan sering atau menjadi sebuah pola oleh seseorang atau lebih. Bullying seringkali terlihat sebagai bentuk-bentuk perilaku berupa pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik maupun psikologis terhadap seseorang atau kelompok yang lebih ‘lemah’ oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempersepsikan dirinya lebih ‘kuat’. 
Perbuatan pemaksaan atau menyakiti ini terjadi di dalam sebuah kelompok misalnya kelompok siswa satu sekolah. Contoh perilaku bullying antara lain: Kontak fisik langsung (meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya, memukul, menampar, mendorong, menggigit, menarik rambut, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain, pelecehan seksual). 
Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip). Perilaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya diertai oleh bullying fisik atau verbal). Perilaku non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng). 
Bullying tidak selalu berlangsung dengan cara berhadapan muka tapi dapat juga berlangsung di belakang teman. Pada siswa, mereka menikmati saat memanggil temannya dengan sebutan yang jelek, meminta uang atau makanan dengan paksa atau menakut-nakuti siswa yang lebih muda usianya. 
Sementara siswa melakukan tindakan memisahkan rekannya dari kelompok serta tindakan lainnya yang bertujuan menyisihkan individu lainnya dari grup, dan peristiwanya, sangat mungkin terjadi berulang. Pelaku bullying mulai dari; teman, kakak kelas, adik kelas, guru, hingga preman yang ada di sekitar sekolah. Lokasi kejadiannya, mulai dari; ruang kelas, toilet, kantin, halaman, pintu gerbang, bahkan di luar pagar sekolah. 
Dampak perilaku bullying Tidak semua korban akan menjadi pendukung bullying, namun yang paling memprihatinkan adalah korban-korban yang kesulitan untuk keluar dari lingkaran kekerasan ini. Mereka merasa tertekan dan trauma sehingga mempersepsikan dirinya selalu sebagai pihak yang lemah, yang tidak berdaya, padahal mereka juga asset bangsa yang pasti memiliki kelebihan-kelebihan lain. 
Bagaimana anak bisa belajar kalau dia dalam keadaan tertekan? Bagaimana bisa berhasil kalau ada yang mengancam dan memukulnya setiap hari? Sehingga amat wajar jika dikatakan bahwa bullying sangat mengganggu proses belajar mengajar. 
Bullying ternyata tidak hanya memberi dampak negatif pada korban, melainkan juga pada para pelaku. Bullying, dari berbagai penelitian, ternyata berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri. Bullying juga menurunkan skor tes kecerdasan dan kemampuan analisis para siswa. 
Para pelaku bullying berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal, jika dibandingkan dengan anak-anak yang tidak melakukan bullying. Bagi si korban biasanya akan merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam) namun tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri bahwa dirinya tidak berharga. 
Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial juga muncul pada para korban. Mereka ingin pindah ke sekolah lain atau keluar dari sekolah itu, dan kalaupun mereka masih berada di sekolah itu, mereka biasanya terganggu prestasi akademisnya atau sering sengaja tidak masuk sekolah.Yang paling ekstrim dari dampak psikologis ini adalah kemungkinan untuk timbulnya gangguan psikologis pada korban bullying, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri, 
Islam Memandang Bullying
Islam Melarang Bullying Larangannya merujuk ayat ke-11 surah al-Hujurat. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.” Ibnu Katsir menambahkan, Rasulullah SAW juga tidak memperbolehkan saling menghina dan meremehkan. 
Sebab, orang yang di-bully bisa jadi jauh lebih baik daripada penghujat atau penghina. “Bully haram,” kata penulis kitab Qashash al-Anbiyaa' ini. Abu Hamid al-Ghazali menjelaskan, bully sering kali dilakukan dengan cara mempermainkan aib atau kekurangan seseorang di hadapan publik. 
Aib tersebut dijadikan bahan olok-olokan sehingga memicu gelak tawa bagi para pendengarnya. Bentuknya beragam, entah lewat penuturan lisan atau bahasa tubuh, dan lain sebagainya. Para generasi salaf memahami betul dampak dan efek dari tindakan tercela ini. Mereka mencoba selalu menciptakan atmosfer kondusif dan Islami dengan saling menghargai dan menghormati. 
Bullying pun dianggap sebagai pemantik masalah. Abdullah bin Mas'ud pernah mengatakan, jika penampilannya diejek seperti 'anjing', ia khawatir jika ejekan itu benar-benar terjadi sekalipun hanya perangai dan perilaku. 
Sikap penolakan yang sama ditujukan oleh Abu Musa al-Asy'ari. Ia mengutarakan, jika ia melihat laki-laki menyusu kepada kambing di tengah-tengah jalan, lalu pria tersebut diejek atas tindakan konyolnya tersebut, al-Asy'ari menolak keras hinaan itu. “Saya takut tak akan meninggal sampai aku menyusu kepada kambing itu,” kata dia memberikan sindiran tegas. Tak heran bila Ibrahim an-Nakha'i selalu menahan diri untuk tidak berkata apa pun terhadap perkara buruk atau tak pantas yang ia lihat. 
Hal ini dilakukan lantaran kekhawatirannya jika ujian atau cobaan serupa menimpa dirinya sendiri. Syekh Abdurrahman bin Sa'adi berkomentar terkait tafsir ayat ke-11 surah al-Hujurat. Menurutnya, salah satu hak yang mesti dijaga oleh sesama Muslim ialah tidak menghina, mengejek, dan menjatuhkan martabatnya dengan bentuk apa pun, baik perkataan maupun lewat perbuatan. Tindakan ini dikategorikan sebagai bentuk keangkuhan pelaku pada dirinya sendiri dan hukumnya haram. 
Padahal, faktanya belum tentu demikian. Seseorang yang di-bully bisa saja memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh pelaku. Ia juga menegaskan bullying pada dasarnya muncul dari hati yang penuh dengan unsur-unsur keburukan. 

Pencegahan dan penanggulangan aksi perilaku bullying semua orang bisa menjadi korban atau malah menjadi pelaku bullying. Kebijakan menyeluruh yang melibatkan seluruh komponen sekolah mulai dari guru, siswa, kepala sekolah sampai orang tua murid, yang tujuannya adalah untuk dapat menyadarkan seluruh komponen sekolah tadi tentang bahaya terselubung dari perilaku bullying ini. 
Kebijakan tersebut dapat berupa program anti bullying di sekolah antara lain dengan cara menggiatkan pengawasan, pemahaman konsekuensi serta komunikasi yang bisa dilakukan efektif antara lain dengan Kampaye Stop Bullying di Lingkungan sekolah dengan sepanduk, slogan, stiker dan workshop bertemakan stop bulying. Kesemuanya ini dilakukan dengan tujuan paling tidak dapat meminimalisir atau bahkan meniadakan sama sekali perilaku bullying di sekolah. 
Diharapkan dengan adanya kebijakan itu sekolah bukan lagi tempat yang menakutkan dan membuat trauma tapi justru menjadi tempat yang aman dan menyenangkan bagi siswa, merangsang keinginan untuk belajar, bersosialisasi dan mengembangkan semua potensi siswa baik akademik, sosial ataupun emosinal. Sekolah dapat menjadi tempat yang paling aman bagi anak serta guru untuk belajar dan mengajar serta serta menjadikan anak didik yang mandiri, berilmu, berprestasi dan berakhlak mulia. 
Sebenarnya ada Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Namun perlu ada upaya luar biasa dengan masifnya paparan kekerasan, dengan menyiapkan psikolog.
Dalam UU Perlindungan Anak, pengobatan kesehatan anak secara komprehensif dilakukan baik melalui promosi, rehabilitasi, dan pengobatan. Dengan maraknya fenomena bullying menjadi kesempatan implementasi pasal 44.
Pada ayat 1 dinyatakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.
Sedangkan pada ayat 4 dinyatakan upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan secara percuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu. Berdasarkan undang-undang perlindungan anak dan undang-undang kesehatan penanganan anak tersebut harus dilakukan secara tuntas.
Dengan peran para psikolog yang memiliki metode yang baik dalam membaca kejiwaan anak dengan metode menulis, menggambar, wawancara, dan pendekatan personal dalam mengambarkan kejiwaan anak anak, dapat membantu sekolah, guru konseling dan orang tua menyelamatkan anak-anak mereka dari bullying.

Komentar

Postingan Populer