Berpisah Ramadhan

Tanpa terasa hampir sebulan kita menjalani perintah wajib puasa Ramadhan. Selanjutnya, beberapa saat lagi umat Islam akan merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1439 H. Nuansa perpisahan tersebut mulai terasa di kota sampai di desa, seminggu menjelang hari raya, di pinggir jalan protokol banyak muncul jasa penukaran uang padahal itu ada unsur riba, di mana orang-orang pada mulai sibuk belanja baju baru, merenovasi dan mengecat rumah, membeli perabot, menyiapkan parcel dan sembako, dan mudik.

Untuk tradisi mudik tahun ini ramai diperbincangkan di Medsos karena dihubungkan dengan politik. Seharusnya tradisi mudik ini terlepas dari nuansa politik. Jika infrastruktur jalan makin baik memang sudah sewajarnya kewajiban pemerintah mempermudah sarana infrasturkur transportasi di seluruh pelosok negeri. Dan biaya tersebut tak lepas dari uang pajak rakyat, sehingga siapapun berhak menggunakannya. Termasuk untuk mudik Lebaran.

Maka nikmatilah saja perjalanan mudik Anda, tak perlu merisaukan aksi pasang spanduk dijalan tol yang dianggap bernuansa politik tersebut.  Pemerintah mestinya kita harapkan tetap konsen memberikan pelayanan yang terbaik selama arus mudik dan balik Lebaran 2018.

Menuju Hamba Muttaqien
Ramadhan merupakan tamu agung yang dielu-elukan kedatangannya dengan berbagai amalan yang dinjurkan karena diyakini mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Sejak malam pertama Ramadhan, jamaah shalat Tarawih tumpah ruah di masjid-masjid, surau dan mushalla. Seiring dengan perjalanan waktu, tempat-tempat ibadah pun mulai berkurang jamaahnya, apalagi saat-saat akan berpisah dan merayakan Idul Fitri.

Detik-detik perpisahan dengan bulan maghfirah dan penuh berkah ini ada yang menyambut gembira dan ada pula yang menyambutnya dengan kesedihan. Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi berlalu, mereka selalu meneteskan air mata kesedihan. Mereka rindu dengan dekapan tamu agung yang selama ini bersama mereka. Mereka khawatir itulah perjumpaan terakhir.

Lisan mereka basah dengan doa dan permohonan, ungkapan kerinduan untuk bertemu kembali dengan Ramadhan tahun selanjutnya. Ada riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dirasakan manusia, tapi juga oleh para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya. Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang dilipatgandakan amal kebajikan. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat.

Pada masa Rasulullah saw, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beriktikaf, membaca Alquran, zikir dan qiyamul lail. Mereka bahkan menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka. Bulan di mana orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah, bulan yang dibukakan pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu setan oleh Allah Subhanallahu wata ala.

Suatu hari, dalam khutbah Idul Fitri, Umar bin Abdul Aziz berkata: Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.

Seorang di antara jamaah terlihat sedih. Lalu seseorang kemudian bertanya kepadanya: Ada apa gerangan? Kenapa engkau malah bermuram durja padahal hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang? Orang itu menjawab: Engkau benar wahai sahabatku, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Namun sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.

Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal saleh, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka.

Bulan Ramadhan seyogiayanya mampu menempa jiwa dan raga kita dengan nilai-nilai spiritual menuju insan kamil yang bertakwa.

Berpisah dengan Ramadhan bukan serta meninggalkan segalanya yang pernah dilatih selama sebulan. Namun harus menjadi motivasi dan semangat untuk bangkit mempertahankan jati diri dan nilai-nilai muttaqin yang telah diraih dari Ramadhan. Nilai-nilai tersebut harus kita pertahankan serta diaktualisasikan  ke depan dengan penuh istiqamah. [Sidoarjo, 28 Ramadhan 1439 H/2018 M]

Komentar

Postingan Populer