Bagaimana Sikap Dakwah Terhadap Sinkretisme Islam*)
Sinkretisme adalah suatu proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan. Pada sinkretisme terjadi proses pencampuradukkan berbagai unsur aliran atau paham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif pada agama lain.
Secara etimologis, sinkretisme berasal dari kata syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal yang agak berbeda dan bertentangan. Adapun seorang tokoh Aliran Kepercayaan, Simuh, menambahkan bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Oleh karena itu, mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dijadikannya sebagai satu aliran, sekte, dan bahkan agama.
Sinkretisme berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan yang signifikan antara beberapa paham yang berlainan. Paham di sini bisa berupa aliran, kepercayaan, bahkan agama. Secara gamblang bisa dikatakan bahwa paham ini adalah usaha pluralisme agama. Sebut saja begini, agama-agama yang berlainan di Indonesia ini; Hindu Budha, Kristen, Katolik dan Islam bertentangan ajarannya, kemudian dicarilah dari masing-masing agama perbedaan yang mencolok yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan ketidaktoleran, dari situlah perbedaan itu akan dilebur dan disatukan kembali menjadi sesuatu yang satu dan utuh, ‘Semua Agama Benar’.
Jika paham ini diterapkan sebagai sarana bertoleransi antar umat beragama, maka yang terjadi selanjutnya adalah terbentuknya masyarakat yang harmonis karena terwujudya keserasian dan toleransi antar mereka.
Namun satu hal lain yang jauh lebih penting dipertimbangkan daripada ‘sekedar’ kerukunan adalah tergadaikannya iman dan konsekwensi kita sebagai muslim terhadap Allah SWT dan Muhammad SAW beserta ajaran-ajarannya.
Sesungguhnya agama Islam dengan aqidah, syariah dan tuntunannya yang termaktub dalam al Qur’an dan hadith adalah keseluruhan yang sempurna dan tidak membutuhkan revisi, maupun tambahan dari agama lain. Karena itu seorang muslim haruslah menjadikan agamanya pedoman.
Firman-Nya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah 3)
Allah juga berfirman:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu. Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Maidah 5)
Jelaslah dari ayat tersebut, bahwa syariat Islam adalah suatu perkara yang tauqifiyah, artinya berasal dari Allah SWT. Dengan kata lain, segala hukum; halal, haram, mubah, makruh dan seterusnya adalah hak Allah untuk menentukan dan menetapkannya.
Sinkretisme, jika diterapkan oleh umat berlainan agama (Yahudi, Nasrani dan Islam), maka ia akan akan mengerucut pada suatu titik bernama ‘Teologi Pluralis’. Adapun jika diterapkan dalam suatu tradisi Jawa yang agama aslinya adalah Islam, maka akan tercipta aliran Islam yang tidak lagi murni.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menerangkan dalam kitab-Nya bahwa Yahudi dan Nashrani tengah bekerja keras utk menyesatkan kaum muslimin dari keislaman dan mengembalikan mereka kepada kekufuran serta mengajak kaum muslimin utk menjadi Yahudi atau Nashrani. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekufuran setelah kamu beriman karena dengki yang dari diri mereka sendiri setelah nyata bagi mereka kebenaran. maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah 109)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Mereka tidak henti-henti memerangi kamu sampai mereka mengembalikan kamu dari agamamu seandai mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agama lalu dia mati dalam kekafiran maka mereka itulah yang sia-sia amalan di dunia dan di akhirat dan mereka itulah penghuni neraka mereka kekal di dalamnya.”
(QS. Al-Baqarah 217)
Sesungguhnya agama Islam dengan akidah, ibadah, hukum dan seluruh syariatnya adalah aturan yang telah sempurna, tidak butuh kepada yang selainnya. Karena itu, seorang muslim haruslah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya rujukan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu. Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (al-Jatsiyah: 18)
Islam dengan seluruh syariatnya telah terproteksi dari segala bentuk kebatilan, kesesatan, kekufuran, kesyirikan, dan kerusakan lainnya. Islam dengan seluruh syariatnya datang dengan penolakan yang tegas terhadap seluruh ideologi yang bertolak belakang dan yang bukan berasal darinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “(Ini adalah) pemberitaan dari Allah subhanahu wa ta’ala bahwa tidak ada din yang akan diterima di sisi-Nya dari seorang pun selain Islam.” (Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim, 1/389)
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)
Yakni barang siapa yang menempuh jalan selain apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala syariatkan, maka Dia tidak akan pernah menerimanya. (Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim, 1/410)
Islam adalah din yang diwajibkan atas seluruh manusia. Adanya umat-umat yang kafir terhadap dinul Islam tidaklah berarti Islam tidak diwajibkan atas mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Allah subhanahu wa ta’ala dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah subhanahu wa ta’ala, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan itu semua, maka mereka terjaga dariku darah dan hartanya kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka atas Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR . al-Bukhari, Muslim dari Ibnu ‘Umar. Lihat Raf’ul Litsam, hlm. 80)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberi al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.” (at-Taubah: 29)
Semua ini menunjukkan tentang batilnya seruan-seruan yang mencoba untuk mengaburkan kemuliaan Islam dan melenyapkan cahaya ketinggiannya, seperti pendekatan agama Islam dengan agama-agama lain dengan mencari titik kesamaan dan melupakan perbedaan-perbedaannya. Menyerukan bahwa semua agama sama dan semua manusia mendapatkan kebebasan beragama. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala mengingkari siapa saja yang menghendaki agama selain agama yang telah Allah subhanahu wa ta’ala turunkan dengannya al-Kitab dan yang Allah subhanahu wa ta’ala utus dengannya para rasul. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nyalah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” (Ali ‘Imran: 83)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orangorang munafik itu tiada mengetahui.” (al-Munafikun: 8)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini Yahudi ataupun Nasrani yang mendengar tentang aku kemudian mati dan tidak beriman dengan apa yang aku telah diutus dengannya, kecuali dia tergolong dari penghuni neraka.” (HR . Muslim, 2/186 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Salah satu sifat dari masyarakat Indonesia adalah bahwa mereka religius dan bertuhan. Pada masa awal kedatangan Islam di Kepulauan Nusantara khususnya di Jawa, masyarakat telah menganut dan memiliki berbagai kepercayaan dan agama seperti animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha. Pada masa itu kepercayan dan agama tersebut telah melekat dan mengarah dalam kehidupan masyarakat. Namun, di samping itu dapat diketahui dalam keberagamaan rata-rata masyarakat Jawa adalah nominalis, dalam arti bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran agamanya. Karena kurangnya keseriusan dalam memahami dan mengamalkan agamanya, berakibat pada beberapa hal, yang antara lain mudahnya mereka untuk tergiur dalam mengadopsi kepercayaan, ritual, dan tradisi dari agama lain, terutama tradisi asli pra Hindu-Budha yang dianggap sesuai dengan alur pemikiran mereka, itulah salah satu dari beberapa penyebab adanya sinkretisme agama di Indonesia.
Selanjutnya, ketika Islam mulai memasuki Nusantara, mereka yang mendapatkan hidayah segera memeluk agama Islam walau belum bisa dibilang sempurna karena kuatnya pengaruh Hindu, animisme dan kepercayaan lain.
Seperti inilah yang akhirnya bertahan di era modern. Tetap memegang tradisi nenek moyang , dengan dalih tetap beragama Islam dan mengaku muslim, tapi bahkan syari’at Islam dilanggar dan diacuhkan. Islamnya hanya sebatas KTP, karena pada nyatanya ritual sesajen, mempercayai takhayul, orang pintar, berpuasa putih, bersemedi, menerapkan ramalan , tetap berjalan dengan terkadang melalaikan shalat dan berberat hati puasa Ramadhan.
Pada kenyataannya sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama apapun tidak lepas untuk mempercayai keyakinan di luar ajaran agama yang dianutnya. Kepercayaan itu timbul seiring dengan kejaian yang dialami seseorang. Karena ketidakmampuannya menyelesaikan masalah, maka ia mencari jalan keluar yang mungkin dapat menolong, walaupun jalan itu tidak memiliki dasar di dalam agama yang dipeluknya. Keyakinan itu akhirnya diadopsi ke dalam agama yang dipeluknya. Maka terjadilah agama yang sinkretis, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat muslim awam khususnya di Jawa maupun di Bali.
Tapi masalahnya, tidak bisa disalahkan juga terjadinya pecampuran semacam itu oleh masyarakat awam, karena pada dasarnya undang-undang yang berlaku di Indonesia memperbolehkan warganya untuk memeluk satu agama tapi sekaligus menganut beragam aliran. Dalam UUD ’45 pasal 29, ayat 2 berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan munculnya sinkretisasi terutama sinkretisasi Islam, paling tidak muncul beberapa sikap:
Sikap Terhadap Sinkretisme
Dalam mengahadapi sinkretisme ajaran Islam dengan tradisi sebelum Islam, paling tidak telah muncul tiga sikap pendapat. Di kalangan masyarakat Indonesia terdapat orang-orang muslim taat, yang kalu ditanya tentang landasan dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam, mereka menjawab landasanya adalah al-Quran dan as-Sunnah. Namun meskipun mereka mempunyai landasan yang sama, implementasi gagasan ini di lapangan berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya.
Sikap pertama, yang berusaha untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik dan bersikap hati-hati dalam menyikapi tradisi dan budaya lokal, terutama yang dianggapnya berbau takhayul, khurafat, dan syirik. Bagi yang menerima pendapat ini, al-Quran dan as-Sunnah sudah mengatur peri kehidupan serta semua tata cara ritual dan kepercayaan untuk semua pemeluk agama Islam. Oleh karena itu bagi mereka, ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan yang tidak diajarkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul tidak perlu, dan bahkan haram dikerjakan.
Sikap kedua, kelompok moderat. Orang-orang yang berada dalam kelompok ini beranggapan bahwa dalam berdakwah, seorang dai atau mubaligh harus menggunakan al-hikam (cara-cara yang bijak). Oleh karena itu, dalam menghadapi masyarakat yang sudah mbalung sum-sum dengan tradisi dan adat istiadat lama tidak boleh digunakan cara-cara yang justru dapat menjauhkan para mubaligh dari obyek dakwah.
Sikap ketiga, sikap mereka yang dapat menerima sinkretisme secara keseluruhan.
_______
(*Di olah dari berbagai sumber, artikel ini disusun berdasarkan kenyataan dakwah dilapangan ketika berhadapan dengan "Sinkretieme Islam")
Komentar
Posting Komentar