PERANG TOPAT BENTUK SINKRETISME, TANTANGAN DAKWAH KITA
Sinkretisme agama tidak hanya terjadi di pulau Jawa, di pulau Lombok juga terjadi sinkretisme agama. Inilah tantangan dakwah kita di lapangan ungkap Ustadz Ahmad Tauhid Al-Bayani asli Mataram Lombok memulai ceritanya ketika menemani saya keliling Lombok dengan naik motor. Saya pun diajak oleh Ustadz Ahmad Tauhid Al-Bayani melihat langsung Pura Lingsar tempat berlangsung Sinkretisme antara agama Islam dan agama Hindu.
Bentuk Sinkretisme tersebut adalah tradisi "Perang Topat" yang merupakan tradisi turun temurun yang mulai dilakukan sepeninggal penjajahan Bali di Lombok di masa lampau. Tradisi ini di lakukan dengan cara saling lempar dengan menggunakan ketupat antara Ummat Islam dan Ummat Hindu Lombok. Dengan menggunakan pakaian adat khas Sasak dan Bali ribuan warga Sasak dan umat Hindu bersama-sama dengan damai merayakan upacara keagamaan yang dirayakan tiap tahun di Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Sambil berjalan mengelilingi dan melihat langsung Pura Lingsar Ustadz Ahmad Tauhid Al-Bayani bercerita bahwa tradisi "Perang Topat" dimulai dengan mengelilingkan sesaji berupa makanan, buah, dan sejumlah hasil bumi sebagai sarana persembahyangan dan prosesi ini didominasi masyarakat Sasak dan beberapa tokoh umat Hindu yang ada di Lombok. Sarana persembahyangan seperti kebon odek, sesaji ditempatkan didalam Pura Kemalik.
Prosesi kemudian dilanjutkan dengan perang topat, bertepatan dengan gugur bunga waru atau dalam bahasa Sasaknya “roroq kembang waru” yakni menjelang tenggelamnya sinar matahari sekitar pukul 17.30. Perang topat merupakan rangkaian pelaksanaan upacara pujawali yaitu upacara sebagai ungkapan rasa syukur umat manusia yang telah diberikan keselamatan, sekaligus memohon berkah kepada Sang Pencipta. Di antara 365 hari dalam setahun, masyarakat Sasak memilih tanggal dan hari Purnama Bulan Ketujuh dalam Kalender Sasak, yang biasanya jatuh pada bulan November-Desember, waktu setelah panen dan sebelum masuk musim tanam, untuk pelaksanaan Pujawali. Sementara Perang Topat sendiri biasanya dilaksanakan pada sore hari, setelah salat ashar.
Menurut Siti Sarah, seorang arkeolog dari Nusa Tenggara Barat, bahwa Perang Topat tak bisa dipisahkan dari Taman Lingsar. Taman Lingsar mulai dibangun pada 1759, oleh Raja Ketut Karangasem dari Bali, di tahun berakhirnya kekuasaan Mataram. Pembangunan Taman Lingsar ini bertujuan untuk menyatukan, secara batiniah, masyarakat Sasak Lombok yang menganut Islam dengan wetu telu dan warga Bali yang beragama Hindu. Wetu Telu adalah kepercayaan yang tumbuh ketika awal mula perkembangan penyebaran Islam di Lombok. Saat itu Sunan Prapen, yang merupakan keturunan dari Sunan Giri, bertugas untuk menyebarkan syiar Islam di Lombok. Namun, Sunan Prapen yang masuk dari wilayah barat hingga ke bagian utara, belum secara utuh menyebarkan ajaran Islam.
Rasa penasaran saya tidak terbendung gimana sih keadaan di dalam Pura Lingsar, saya pun mencoba masuk ke dalam tanpa memakai sabuk kain kuning. Sementara Ustadz Ahmad Tauhid Al-Bayani saya tinggal, saya menyelinap berbaur dengan rombongan wisata dari Jawa, karena kebetulan ada rombongan wisata dari Jawa mengunjungi Pura Lingsar. Hampir 10 menit saya untuk melihat secara langsung di dalam komplek bangunan Pura Taman Lingsar ini, saya melihat ada orang Hindu melakukan ritual suatu tempat dan tempat lainnya ada orang Islam.
Setelah puas melihat dalamnya, kemudian saya tanyakan ke Ustadz Ahmad Tauhid Al-Bayani bahwa di dalam Pura Lingsar ada orang Hindu dan orang Islam. Ustadz Ahmad Tauhid Al-Bayani menjelaskan bahwa di dalam Pura Lingsar memang ada tempat yang disebut "Gaduh" bagi penganut Hindu dan "Kemaliq" yang berarti keramat bagi penganut Islam Wetu Telu. Kemaliq ada terlebih dahulu dan diyakini sebagai tempat moksa Datuk Sumilir, seorang pendakwah Islam di Lombok pada sekitar abad XV, setelah menancapkan tongkatnya di lokasi tersebut.
Titik lokasi menancapnya tongkat itu menyemburkan air atau yang disebut lingsar oleh masyarakat Sasak. Sebelumnya, daerah itu adalah area yang gersang, namun munculnya mata air yang tak pernah kering menjadikan daerah tersebut subur hingga sekarang.
Gaduh dan Kemaliq boleh dipakai kapan saja sesuai keperluan agama masing-masing, tetapi sekali dalam setahun diadakanlah upacara bersama, yakni Perang Topat. Maka, inilah bentuk sinkretisme. (Lombok-Lingsar, 01 Juli 2018)
Komentar
Posting Komentar